Berbicara
mengenai perjalanan demokrasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
pelaksanaan pasang surut demokrasi itu sendiri. Bangsa indonesia pernah
menerapkan tiga model demokrasi, yaitu demokrasi parlementer, demokrasi
terpimpin, dan demokrasi pancasila. Setiap fase tentunya memiliki karakteristik
yang merupakan ciri khas dari pelaksanaan tiap-tiap tiap fase demokrasi.
Demokrasi
yang kita kenal sekarang ini dipelopori oleh organisasi-organisasi modern pada
masa pergerakan nasional sebagai wacana penyadaran. Diantara organisasi modern
tersebut, misalnya Boedi Utomo (BU), Sarekat Islam, dan Perserikatan Nasional
Indonesia.
Bangsa
indonesia mengenal BU sebagai organisasi modern pertama yang didirikan di
Jakarta tanggal 20 Mei 1908. Anggota BU terdiri dari kaum priyayi ningrat atau
aristokrasi dan kaum intelektual. Kelompok pertama bersifat konservatif,
sedamgkan kelompok kedua bersifat progresif. Dari sini tampak bahwa BU masih
bersifat elitis. Didalm organisasi BU anggotanya belajar berdemokrasi dengan
mengenalkan dan menyalurkan ide, gagasan dan harapan adanya intregasi nasional.
Organisasio BU dijadikan wahana pendidikan politik bagi kaum priyayi dan kaum
intelektual antara lain memupuk kesadaran politik, berpatisipasi dalam aksi
kolektif dan menghayati identitas diri mereka. (Sartono Kartodirdjo, 1992 :
105).
Menjelang
surutnya BU, muncul organisasi modern yang berwatak lebih egaliter, yaitu
Sarekat Islam (SI). Organisasi yang didirikan tahun 1911 di Solo. Pada awalnya
SI merupakan gerakan reaktif terhadap situasi kolonial, namun dalam
perkembangannya organisasi ini melangkah ke arah rekontruksi kehidupan bangsa
dan akhirnya beralih ke perjuangan politik guna menentukan nasib bangsanya
sendiri.
Gerakan
nasionalis indonesia dengan cepat meningkat dalam tahun 1927 dengan
didirikannya Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Para pemimpin PNI terdiri
dari kaum muda yang memperoleh pendidikan di negeri belanda pada permulaan
tahun 1920-an. Sewaktu di negeri belanda mereka menggabungkan diri dengan
organisasi mahasiswa, yaitu perhimpunan indonesia (PI). Organisasi pemuda pada
saat itu sangat terpengaruh oleh PNI. Salah satu peristiwa penting dalam gerakan
nasional adalah kongres pemuda Indonesia ke- II yang melahirkan sumpah pemuda.
Dalam forum ini kaum muda yang berasal dari berbagi daerah menghilangkan
semangat kedaerahan mereka dan menggantikan dengan semangat persatuan dan
kesatuan bangsa serta bekerja sama untuk menciptakan suatu negara Indonesia
yang merdeka.
Macam-macam
demokrasi di Indonesia :
- 1. Demokrasi Kerakyatan Pada Masa Revolusi
Pada
masa revolusi 1945 – 1950 banyak kendala yang dihadapi bangsa indonesia,
misalnya perbedaan-perbedaan antara kekuatan-kekuatan perjuangan bersenjata
dengan kekuatan diplomasi, antara mereka yang mendukung revolusi sosial dan
mereka yang menentangnya dan antara kekuatan islam dalam kekutan sekuler. Di
awal revolusi tidak satupun perbedaan di antara bangsa indonesia yang
terpecahkan. Semua permasalahan itu baru dapat diselesaikan setelah
kelompok-kelompok kekuatan itu duduk satu meja untuk memperoleh satu kata
sepakat bahwa tujuan pertama bangsa indonesia adalah kemerdekaan bangsa
indonesia. Pada akhirnya kekuatan-kekuatan perjuangan bersenjata dan kekuatan
diplomasi bersama-sama berhasil mencapai kemerdekaan.
- 2. Demokratisasi Dalam Demokrasi Parlementer
Pada
periode tahun 1950-an muncul kaum nasionalis perkotaan dari partai sekuler dan
partai-partai islam yang memegang kendali pemerintahan. Ada sesuatu kesepakatan
umum bahwa kedua kelompok inilah yang akan menciptakan kehidupan sebuah negara
demokrasi di indonesia. Undang – Undang dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem
parlementer dimana badan eksekutif terdiri dari presiden sebagai kepala negara
konstitusional beserta para menteri yang mempunyai tanggung jawab politik.
Setiap kabinet terbentuk berdasarkan koalisi pada satu atau dua partai besar
dengan beberapa partai kecil. Koalisi ternyata kurang mantap dan partai-partai
koalisi kurang dewasa dalam menghadapi tanggung jawab mengenai permasalahan
pemerintahan. Di lain pihak, partai-partai dalam barisan oposisi tidak mampu
berperan sebagi oposisi kontruktif yang menyusun program-program alternatif, tetapi
hanya menonjolkan segi-segi negatif dari tugas oposisi (Miriam Budiardjo, 70).
Pemilu tahun 1955 tidak membawa stabilitas yang diharapkan, malah perpecahan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tidak dapat dihindarkan.
Faktor-faktor tersebut mendorong presiden soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden
5 Juli 1959 yang menentukan berlakunya kembali UUD 1945. Dengan demikian masa
demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir.
- 3. Demokratisasi Dalam Demokrasi Terpimpin
Ini
merupakan suatu sistem yang didominasi oleh kepribadian soekarno yang prakarsa
untuk pelaksanaan demokrasi terpimpin diambil bersama-sama dengan pimpinan ABRI
(Hatta, 1966 : 7). Pada masa ini terdapat beberapa penyimpangan terhadap
ketentuan UUD 1945, misalnya partai-partai politik dikebiri dan pemilu
ditiadakan. Kekuatan-kekuatan politik yang ada berusha berpaling kepada pribadi
Soekarno untuk mendapatkan legitimasi, bimbingan atau perlindungan. Pada tahun
1960, presiden Soekarno membubarkan DPR hasil pemilu 1955 dan menggantikanya
dengan DPRGR, padahal dalam penjelasn UUD 1945 secara ekspilisit ditentukan
bahwa presiden tidak berwenang membubarkan DPR. Pemberontakan G 30 S/PKI tahun
1965 telah mengakhiri periode demokrasi terpimpin dan membuka peluang bagi
dilaksanakannya demokrasi Pancasila.
- 4. Demokratisasi Dalam Demokrasi Pancasila
Pada
tahun 1966 pemerintahan Soeharto yang lebih dikenal dengan pemerintahan Orde
Baru bangkit sebagai reaksi atas pemerintahan Soekarno. Pada awal pemerintahan
orde hampir seluruh kekuatan demokrasi mendukungnya karena Orde Baru diharapkan
melenyapkan rezim lama. Soeharto kemudian melakukan eksperimen dengan
menerapkan demokrasi Pancasila. Inti demokrasi pancasila adalah menegakkan
kembali azas negara hukum dirasakan oleh segenap warga negara, hak azasi
manusia baik dalam aspek kolektif maupun aspek perseorangan dijamin dan
penyalahgunaan kekuasaan dapat dihindarkan secara institusional. Sekitar 3
sampai 4 tahun setelah berdirinya Orde Baru menunjukkan gejala-gejala yang
menyimpang dari cita-citanya semula. Kekuatan – kekuatan sosial-politik yang
bebas dan benar-benar memperjuangkan demokrasi disingkirkan. Kekuatan politik
dijinakkan sehingga menjadi kekuatan yang tidak lagi mempunyai komitmen sebagai
kontrol sosial. Pada masa orde baru budaya feodalistik dan paternalistik tumbuh
sangat subur. Kedua sikap ini menganggap pemimpin paling tahu dan paling benar
sedangkan rakyat hanya patuh dengan sang pemimpin. Sikap mental seperti ini
telah melahirkan stratifikasi sosial, pelapisan sosial dan pelapisan budaya
yang pada akhirnya memberikan berbagai fasilitas khusus, sedangkan rakyat
lapisan bawah tidak mempunyai peranan sama sekali. Berbagai tekanan yang
diterima rakyat dan cita-cita mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang tidak
pernah tercapai, mengakibatkan pemerintahan Orde Baru mengalami krisis
kepercayaan dan kahirnya mengalami keruntuhan.
- 5. Rekonstruksi Demokrasi Dalam Orde Reformasi
Melalui
gerakan reformasi, mahasiswa dan rakyat Indonesia berjuang menumbangkan rezim
Soeharto. Pemerintahan Soeharto digantikan pemerintahan transisi
Habibie yang didukung sepenuhnya oleh TNI. Orde Baru juga meninggalkan warisan
berupa krisis nasional yang meliputi krisis ekonomi, sosial dan politik.
Agaknya pemerintahan “Orde Reformasi” Habibie mencoba mengoreksi pelaksanaan
demokrasi yang selama ini "dikebiri" oleh pemerintahan Orde baru. Pemerintahan Habibie menyuburkan kembali alam demokrasi di Indonesia dengan jalan kebebasan
pers (freedom of press) dan kebebasan berbicara (freedom of speech). Keduanya
dapat berfungsi sebagai check and balances serta memberikan kritik supaya
kekuasaan yang dijalankan tidak menyeleweng terlalu jauh. Dalam perkembanganya
Demokrasi di indonesia setelah rezim Habibie diteruskan oleh
(Alm) Abdurahman Wahid sampai dengan Susilo Bambang Yudhoyono sangat
signifikan sekali dampaknya, dimana aspirasi-aspirasi rakyat dapat bebas
diutarakan dan dihsampaikan ke pemerintahan pusat. Ada satu hal yang membuat
indonesia dianggap negara demokrasi oleh dunia Internasional walaupun negara
ini masih jauh dikatakan lebih baik dari negara maju lainnya adalah Pemilihan
Langsung Presiden maupun Kepala Daerah yang dilakukan secara langsung. Mungkin
rakyat I Indonesia masih menunggu hasil dari demokrasi yang yang membawa masyarakat
adil dan makmur secara keseluruhan.
Pasca reformasi Indonesia mengalami suatu transformasi diberbagai bidang, salah satunya yaitu di bidang politik Indonesia memutuskan untuk memilih demokrasi sebagai sistem politiknya ditandai dengan adanya perombakan besar-besaran terhadap konstitusi kita dimana lebih dari 50% isi dari UUD 1945 secara konseptual telah mengalami perubahan sebanyak empat kali. Hadirnya demokrasi ditengah kondisi negara membawa angin segar bagi setiap masyarakat untuk dapat mencapai suatu kehidupan yang baik, terutama dalam hal kebebasan berpendapat, penjaminan hak asasi manusia dan masih banyak hal lainnya, seperti tentang hakikat demokrasi itu sendiri yang menekankan konsep pemerintahan berada ditangan rakyat, sehingga rakyat menjadi satu-satunya pemegang kedaulatan tertinggi negara untuk mencapai tujuan hidup mereka, hal ini berbeda ketika di komparasikan dengan kondisi yang terjadi pada masa sebelum reformasi, pengekangan terhadap individu serta intimidasi sepihak oleh pemerintah justru menimbulkan kesengsaraan berserikat sebagai perlakuan dari rezim otoritarian.
Namun masuknya demokrasi di Indonesia sendiri
memang tidak bisa di mungkiri berimplikasi lain diluar konteks positif,dengan
diterapkannya demokrasi di Indonesia menyebabkan cost social menjadi
tinggi, cost social yang dimaksud adalah hilangnya nilai-nilai kepribadian
Indonesia seperti nilai-nilai gotong royong, kekeluargaan yang pada masa
keemasannya menjadi suatu kebanggaan tersendiri bangsa Indonesia di mata
asing, selain itu implikasi internal pun tidak bisa dihindarkan terhadap diri
demokrasi itu sendiri, karena pada realitanya kini penasiran parsial terhadap
demokrasi justru menjadi kendala untuk mewujudkan format demokrasi baru yang
kokoh.
Fenomena demokrasi di Indonesia juga membuka keran
partai politik untuk berpartisipasi aktif sebagai satu-satunya mediator untuk
mencapai suatu tingkat kekuasaan, baik itu di tingkat pusat, provinsi, ataupun
kabupaten. Jumlah partai politik yang kian membludak jika kita bandingkan dengan
masa-masa yang sebelumnya menunjukkan bahwa adanya respon masyarakat yang baik
terhadap demokrasi dalam upaya untuk mencapai kepentingan massanya,walaupun
kita tahu dengan adanya eksplosif parpol justru akan menimbulkan pemborosan
demokrasi kita terhadap sistem "keparpolan" yang menggunakan sistem
proporsional.