Jumat, 24 Desember 2010

Sebuah Ironi Keadilan (Sengkon Dan Karta)

Alkisah sebuah perampokan dan pembunuhan menimpa pasangan suami istri Sulaiman-Siti Haya di Desa Bojongsari, Bekasi. Tahun 1974. Beberapa saat kemudian polisi menciduk Sengkon dan Karta, dan menetapkan keduanya sebagai tersangka.

Keduanya dituduh merampok dan membunuh pasangan Sulaiman-Siti Haya. Tak merasa bersalah, Sengkon dan Karta semula menolak menandatangani berita acara pemeriksaan. Tapi lantaran tak tahan menerima siksaan polisi, keduanya lalu menyerah. Hakim Djurnetty Soetrisno lebih mempercayai cerita polisi ketimbang bantahan kedua terdakwa. Maka pada Oktober 1977, Sengkon divonis 12 tahun penjara, dan Karta 7 tahun. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi Jawa Barat.

Dalam dinginnya tembok penjara itulah mereka bertemu seorang penghuni penjara bernama Genul, keponakan Sengkon, yang lebih dulu dibui lantaran kasus pencurian. Di sinilah Genul membuka rahasia: dialah sebenarnya pembunuh Sulaiman dan Siti!. Akhirnya, pada Oktober 1980, Gunel dijatuhi hukuman 12 tahun penjara.

Meski begitu, hal tersebut tak lantas membuat mereka bisa bebas. Sebab sebelumnya mereka tak mengajukan banding, sehingga vonis dinyatakan telah berkekuatan hukum tetap. Untung ada Albert Hasibuan, pengacara dan anggota dewan yang gigih memperjuangkan nasib mereka. Akhirnya, pada Januari 1981, Ketua Mahkamah Agung (MA) Oemar Seno Adji memerintahkan agar keduanya dibebaskan lewat jalur peninjauan kembali.

Berada di luar penjara tidak membuat nasib mereka membaik. Karta harus menemui kenyataan pahit: keluarganya kocar-kacir entah ke mana. Dan rumah dan tanah mereka yang seluas 6.000 meter persegi di Desa Cakung Payangan, Bekasi, telah amblas untuk membiayai perkara mereka.

Sementara Sengkon harus dirawat di rumah sakit karena tuberkulosisnya makin parah, sedangkan tanahnya yang selama ini ia andalkan untuk menghidupi keluarga juga sudah ludes dijual. Tanah itu dijual istrinya untuk menghidupi anak-anaknya dan membiayai dirinya saat diproses di polisi dan pengadilan. Walau hanya menanggung beban seorang istri dan tiga anak, Sengkon tidak mungkin meneruskan pekerjaannya sebagai petani, karena sakit TBC terus merongrong dan terlalu banyak bekas luka di badan akibat siksaan yang dideranya.

Sementara itu Sengkon dan Karta juga mengajukan tuntutan ganti rugi Rp 100 juta kepada lembaga peradilan yang salah memvonisnya. Namun Mahkamah Agung menolak tuntutan tersebut dengan alasan Sengkon dan Karta tidak pernah mengajukan permohonan kasasi atas putusan Pengadilan Negeri Bekasi pada 1977. ‘Saya hanya tinggal berdoa agar cepat mati, karena tidak ada biaya untuk hidup lagi’ kata Sengkon.

Lima tahun bukan waktu yang teramat pendek. Apalagi untuk dihabiskan di dalam sebuah ruangan beku bernama penjara. Apalagi untuk sebuah perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Tapi Sengkon dan Karta mengalaminya. Kepada siapakah mereka harus mengadu, jika sebuah lembaga bernama pemerintah tidak bisa lagi dipercaya? Sebab keadilan tidak pernah berpihak kepada Sengkon, juga Karta, juga mereka yang lain, yang bernama rakyat kecil.

Lalu Tuhan berkuasa atas kehendaknya. Karta tewas dalam sebuah kecelakaan, sedangkan Sengkon meninggal kemudian akibat sakit parahnya. Di sanalah mereka dapat mengadu tentang nasibnya, hanya kepada Tuhan .

Jumat, 17 Desember 2010

Rene Descartes (1596-1650)

[Geometri Koordinat], jauh melebihi dari spekulasi metafisisnya, mengabdikan nama Descartes, dan merupakan langkah tunggal yang pernah dibuat dalam perkembangan ilmu-ilmu eksakta. -John Stuart Mill-

Rene Descartes lahir di La Haye, Perancis 31 Maret 1596. Kadang juga dikenal dengan Renatus Cartesius dalam literatur lainnya.
Descartes dikenal sebagai ahli filsafat modern pertama. Ia juga penemu biologi modern, ahli fisika, dan matematikawan. Karyanya yang penting adalah Discours de la methode (1637) dan Meditationes de prima Philosophia (1641). Pemikirannya membuat sebuah revolusi dalam bisang falsafi di Eropa karena pendapatnya yang revolusioner bahwa semuanya tidak ada yang pasti, kecuali kenyataan bahwa seseorang bisa berpikir. Dalam bahasa latin kalimat ini adalah cogito ergo sum sedangkan dalam bahasa perancis adalah je pense donc je suis dan dalam bahasa inggris adalah I think, therefore I am yang berarti “Aku berpikir maka aku ada”.

Descartes merupakan putra dari seorang ahli hukum yang lumayan kaya. Ayahnya mengirimnya ke sekolah di Jesuit pada umur delapan tahun. Karena kesehatannya yang kurang baik, Descartes diijinkan menghabiskan waktu paginya belajar di tempat tidur, suatu kebiasaan yang dipandangnya berguna sehingga dilanjutkannya seumur hidup. Pada umur 20 tahun ia mendapat gelar sarjana hukum dan selanjutnya menjalani kehidupan seorang tuan yang terhormat, menjalani dinas militer beberapa tahun dan tinggal beberapa waktu di Paris dan kemudian di Belanda. Ia pergi ke Swedia untuk mengajari Ratu Christina, di mana ia meninggal karena pneumonia pada tahun 1650.

Descartes menyelidiki suatu metode berpikir yang umum yang akan memberikan pertalian pada pengetahuan dan kebenaran dalam ilmu-ilmu. Penyelidikan itu mengantarnya ke matematika, yang ia simpulkan sebagai sarana pengembangan kebenaran di segala bidang. Karya matematikanya yang paling berpengaruh adalah La Geometrie yang diterbitkan tahun 1637. Di dalamnya, ia mencoba suatu penggabungan dari geometri tua dan patut dimuliakan dengan aljabar yang masih bayi. Bersama dengan orang perancis lainnya, Pierre Fermat (1601-1665), ia diberi pujian dengan gabungan tersebut yang saat ini kita sebut geometri analitik, atau geometri koordinat. Dialah pencipta sistem koordinat kartesius. Pengembangan lengkap kalkulus tidak akan tercapai tanpa dia.

Relasi antara Tuhan, Manusia dan Alam (Rene Descartes)

Manusia Barat pada abad pertengahan benar-benar tenggelam dalam alam. Dalam hubungan dengan alam, saat itu mereka merasa seolah-olah sedang tenggelam ke dalam lumpur hidup bernama alam semesta. Dalam hubungan antar manusia, mereka benar-benar terpuruk dalam bidang pangan dan papan.
Ditengah kepanikan dan kegalauan itulah muncul seseorang yang berusaha berusaha melepaskan mereka dari kekacauan itu . Dia berusaha merubah pola pikir masyarakat pada masa itu. Dialah Rene Descartes (1596-1650) yang dikenal sebagai bapak filsafat modern.
Dengan penguasaan Geometri yang dimiliki, Desacrtes mencoba menjelaskan alam menggunakan metode itu, dia memilah-milah persoalan manusia pada dua tahapan: Pertama hubungan manusia dengan Tuhan dan posisi akan dan alam. Descartes mencoba menguraikan hal tersebut untuk menemukan formula yang dapat digunakan untuk mengeluarkan manusia dari kedangkalan pemikiran manukia dalam memposisikan alam semesta.
Pertama-tama Descartes menjelaskan Tuhan sebagai wujud mutlak, sang pencipta sebagai penyebab dari keberadaan manusia dan alam. Selanjutnya alam dijadikan sebagai objek observasi akal. Bagi Descartes alam digambarkan seumpama sebuah mesin otomat yang diciptakan Tuhan sama halnya seperti arlogi buatan manusia. Alam ditafsirkannya sebagai mesin.
Cara pandang alam sebagai mesin menumbuhkan semangat manusia untuk belajar menguasai alam. Sebelumnya manusia melihat alam sebagai hantu raksasa hitam besar yang menyeramkan. Selanjutnya timbullah hasrat manusia-manusia untuk terus mengamati, menelusuri dan menguasai alam. Akal dijadikan subjek sementara alam sebagai objek.
Ternyata dalam perkembangannya manusia menjadi semakin ambisius dalam memperlakukan alam. Mereka tidak peduli pada efek-efek buruk yang akan mereka alami bila mengeksporasi alam secara membabi buta. Maka berbagai bencana alam yang dihadapi manusia tidak lepas dari olah tangan manusia itu sendiri.
Seharusnya tidaklah timbul bencana apabila manusia tidak mempopulerkan slogan “Menaklukkan Alam”. Manusia selalu berada pada dua kondisi emosi ekstrim terhadap alam, awalnya ‘berputus asa’ akan kekuatan alam menjadi bersikap ‘sombong’ terhadap alam. Dua kondisi emosi yang menjadi sebab Azalil dikutuk dan diusir dari surga hingga berubah menjadi Iblis. Karena kefakihannya Iblis bersikap sombong lalu setelah dinyatakan terkutuk, dia berputus asa dari ampunan Allah.
Sebab itu, slogan yang berbunyi menaklukkan alam harus dirubah menjadi “Bersahabat dengan Alam”. Sikap baru terhadap alam ini merupakan jalan tengah dimana manusia dapat melaksanakan fungsinya selaku khalifatullah fil ard (Wakil Tuhan di bumi). Untuk mewujudkan cita-cita ini kita harus kembali kepada maksud Descartes secara utuh. Descartes tidak pernah melupakan peran Tuhan dalam menerapkan metode obserfasinya terhadap alam. Descartes mencoba membangun hubungan yang selaras antara Tuhan, manusia dan alam. Konsep ini selaras dengan maskud Tuhan menciptakan manusia di bumi yaitu menggunakan akal untuk mengolah potensi alam demi kemuslahatan manusia.
Bagaimana tidak, binatang-binatang ternak seperti lembu, misalnya setelah mengambil sesuatu dari alam berupa rumput, lembu dapat membayar jasa alam berupa ampas yang dikeluarkan yang bermanfaat untuk kesuburan alam. Sementara manusia setelah menggundul hutan, jangankan untuk melakukan reboisasi, malah membunuh hewan-hewan penghuni hutan serta ‘menghadiahkan’ banjir bandang bagi masyarakat sekitar hutan.
Agar dapat hidup tenang dan bersahabat dengan alam, marilah kita menafsirkan kembali pemikiran Rene Descartes tentang relasi antara Tuhan, manusia dan alam. Mari kita berlomba-lomba menjadi Khalifatullah, wakil Tuhan yang baik dengan terus menerus melakukan konserfasi alam untuk kita sekarang dan anak cucu kita di hari esok.