Kamis, 26 Mei 2011

PEJABAT PAJAK

Undang-undang Pajak yang memuat ketentuan formal seperti UU KUP, UU PBB, UU BPHTB, UU PDRD, UU PPDSP, dan UU Penjak tidak mengatur secara tegas dengan apa yang dimaksud dengan Pejabat Pajak. Namun didalam UU Penjak Pasal 1 angka 1 ditemukan suatu ketentuan yang mengatur tentang pejabat yang berwenang bahwa “pejabat yang berwenang adalah Direktorat Pajak, Direktorat Bea dan Cukai, Gubernur, Bupati/Walikota, atau pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Direktorat Jenderal Pajak ditugasi mengelola pajak negara sehingga memiliki wewenang, kewajiban dan larangan dalam melakukan pengelolaan pajak negara. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai ditugasi mengelola Bea dan Cukai, memiliki wewenang, kewajiban dan larangan dalam melakukan pengelolaan Bea dan Cukai. Gubernur/Walikota ditugasi mengelola pajak daerah provinsi/daerah kota. Pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan ditugasi hanya sekedar untuk membantu pelaksanaan tugas yang dibebankan oleh Direktur Jenderal Pajak, Direktur Bea dan Cukai, serta Gubernur dan Bupati/Walikota, baik dalam bentuk delegasi maupun mandat.

WEWENANG PEJABAT PAJAK

Adapun wewenang Pejabat Pajak antara lain :

1. Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak.

2. Menerbitkan Surat Tagihan Pajak.

3. Menerbitkan Keputusan.

4. Melakukan Pemeriksaan.

5. Melakukan Penyegelan.

6. Mengangkat dan melakukan pemberhentian Pejabat untuk melaksanakan peraturan Perundang-undangan Perpajakan.

7. Mengangkat dan melakukan pemberhentian Petugas Pajak.

8. Mengangkat dan melakukan pemberhentian Juru Sita Pajak.

KEWAJIBAN PEJABAT PAJAK

Pejabat Pajak juga memiliki kewajiban dalam rangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan dan merupakan bagian dari penegakan hukum pajak dan tersirat didalamnya berupa perlindungan hukum wajib pajak. Kewajiban Wajib Pajak antara lain :

1. Memberi Keterangan Tertulis.

Pasal 25 ayat (6) UU KUP yang menegaskan apabila diminta oleh wajib pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Dirjen Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan pajak, penghitungan rugi, pemotongan atau pemungutan pajak.

2. Menerbitkan Keputusan Pembetulan.

Pejabat Pajak yang ditugasi mengelola pajak negara, khususnya PPh, PPN, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah berwenang melakukan pembetulan atas permohonan wajib pajak apabila didalam penerbitannya terdapat kekeliruan. Yang boleh dikoreksi karena kesalahan atau kekeliruan ialah :

a) Surat Ketetapan Pajak yang meliputi surat ketetapan pajak kurang bayar, kurang bayar tambahan, lebih bayar, ataupun nihil;

b) Surat Tagihan Pajak;

c) Keputusan pengurangan ketetapan pajak;

d) Keputusan pembatalan ketetapan pajak;

e) Keputusan pengurangan sanksi administrasi;

f) Keputusan penghapusan sanksi administrasi;

g) Keputusan keberatan;

h) Keputusan pemberian imbalan bunga; atau

i) Keputusan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.

Ruang lingkup dari pembetulan yang dilakukan oleh pejabat pajak hanya terbatas pada kesalahan atau kekeliruan sebagai akibat dari :

a) Kesalahan tulis, yaitu antara lain kesalahan yang dapat berupa nama, alamat, NPWP, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, masa pajak, dan tanggal jatuh tempo; atau

b) Kesalahan hitung yaitu kesalahan yang berasal dari penjumlahan/pengurangan/perkalian/pembagian suatu bilangan.

Pembetulan keputusan juga dikenal dalam UU PDRD, yang dilakukan oleh pejabat pajak yang mengelola pajak daerah, baik atas permohonan wajib pajak maupun karena jabatannya.

3. Menerbitkan Keputusan Keberatan.

Pasal 26 ayat (1) UU KUP menyatakan bahwa Dirjen Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Ketentuan yang sama juga diatur pada Pasal 16 ayat (1) UU PBB, Pasal 17 ayat (1) UU BPHTB, dan Pasal 14 ayat (1) UU PDRD. Ini menunjukkan bahwa terdapat sinkronisasi antara UU KUP dengan UU PBB, UU BPHTB dan UU PDRD mengenai jangka waktu pemberian surat keputusan keberatan terhadap surat keberatan yang diajukan oleh wajib pajak maupun pemotong atau pemungut pajak.

LARANGAN PEJABAT PAJAK

Adapun yang termasuk larangan-larangan bagi pejabat pajak ialah sebagai berikut :

1. Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh wajib pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan perundang-undangan perpajakan.

2. Larangan diatas berlaku pula terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh pejabat pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

3. Dikecualikan dari larangan tersebut di atas adalah : pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam pengadilan dan pejabat dan tenaga ahli yang memberikan keterangan kepada pihak lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

4. Untuk kepentingan Negara, Menteri Keuangan berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat dan tenaga ahli yang bersangkutan agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau wajib pajak kepada pihak yang ditunjuknya.

5. Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perkara perdata atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana atau hukum acara perdata, Menteri Keuangan dapat memberi izin tertulis untuk meminta kepada pejabat dan tenaga ahli yang bersangkutan, bukti tertulis dan keterangan wajib pajak yang ada padanya.

6. Permintaan hakim tersebut diatas, wajib menyebut nama tersangka atau nama tergugat, keterangan-keterangan yang diminta serta kaitan perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta tersebut.

Kerahasiaan perpajakan yang dilarang untuk diungkapkan atau diberitahukan kepada pihak lain, antara lain :

1. Surat pemberitahuan, Laporan keuangan dan lain-lain yang dilaporkan oleh wajib pajak;

2. Data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan;

3. Dokumen dan atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia; dan

4. Dokumen dan atau rahasia wajib pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

HAK & KEWAJIBAN WAJIB PAJAK

Dalam Hukum Pajak, bukan subjek pajak melainkan wajib pajak merupakan sebagai pendukung hak dan kewajiban dari hukum pajak itu sendiri. Karena secara hukum, subjek pajak dengan wajib pajak memiliki perbedaan karena subjek pajak bukan subjek hukum, melainkan hanya wajib pajak sebagai subjek hukum mengingat subjek pajak tidak memenuhi syarat-syarat subjektif atau objektif untuk dikenakan pajak sehingga bukan subjek hukum.
Yang termasuk wajib pajak ialah seperti : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Bea Materai, dan Pajak Daerah. Berdasarkan ketentuan pada Pasal 1 angka 1 UU KUP, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungutan atau pemotongan pajak tertentu. Sedangkan definisi Badan itu sendiri menurut Pasal 1 angka 2 UU KUP adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan lainnya, BUMN, BUMD atau dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, ORMAS, ORPOL atau yang sejenisnya, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya. Sementara pada Pasal 1 ayat (1) UU PPh, bahwa yang menjadi subjek pajak untuk Pajak Penghasilan adalah :
1. a. Orang Pribadi
b. Warisan yg belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yg berhak
2. Badan
3. Bentuk Usaha Tetap
Penjelasan selanjutnya tercantum pada Pasal 2 ayat (1) ialah :
1. a. Orang Pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal maupun tidak bertempat tinggal di Indonesia.
2. b. Warisan sebagai subjek pajak, merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak dikemudian hari. Ini menjadi dasar agar pengenaan pajak dari warisan tersebut tetap terjamin, berhubung misalnya yang punya harta (warisan) semasa hidup tidak menetapkan tidak menetapkan siapa yang bertanggung jawab dikemudian hari apabila yang bersangkutan meninggal dunia.
3. Badan sebagai subjek pajak adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan satu kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun tidak, meliputi PT, CV, Perseroan lainnya, BUMN, BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, Koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, ORMAS, Organisasi Sosial Politik atau organisasi yang sejenis, lembaga, Bentuk Usaha Tetap dan bentuk usaha lainnya termasuk Reksa Dana.
4. Bentuk Usaha Tetap seperti yang dimaksudkan pada Pasal 2 ayat (5), UU No. 36 Tahun 2008-PPh menjelaskan bahwa bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, atau yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan. Selanjutnya menurut penjelasan Pasal 2 ayat (5) UU No. 36 Tahun 2008 menyatakan bahwa suatu Badan Usaha Tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business), yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang, dan komputer atau agen elektronik, yang dimiliki, yang disewa atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktifitas melalui internet. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Pengertian Bentuk Usaha Tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak berkedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha, atau melakukan kegiatan di Indonesia, menggunakan, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.
HAK WAJIB PAJAK
Wajib Pajak mempunyai hak yang wajib diindahkan oleh para pihak administrasi pajak. Hak tersebut dapat digunakan pada saat-saat tertentu dan apabila hak tersebut dilanggar oleh pihak administrasi pajak, si pemilik hak (wajib pajak) dapat mengajukan masalah tersebut ke pejabat/atasan dari si pelanggar atau ke peradilan pajak.
Hak Wajib Pajak sebagaimana yang tercantum didalam Undang-Undang Pajak, antara lain sebagai berikut :
1) Memperoleh NPWP setelah melaporkan diri ke kantor Direktorat Jenderal Pajak.
2) Mengajukan permohonan penundaan penyampaian Surat Pemberitahuan kepada Pejabat Pajak.
3) Menerima tanda bukti pemasukan surat pemberitahuan.
4) Melakukan pembetulan sendiri surat pemberitahuan yang telah dimasukkan.
5) Mengajukan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran pajak sesuai dengan kemampuannya.
6) Menerima tanda bukti setoran pajak sebagai bukti bahwa wajib pajak telah membayar lunas pajak yang terhutang.
7) Mengajukan permohonan perhitungan atau pengembalian kelebihan pembayaran pajak serta memperoleh kepastian ditetapkannya Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pajak.
8) Mengajukan permohonan pembetulan salah tulis atau salah hitung yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak dalam penerapan peraturan perundang-undangan Perpajakan.
9) Mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga denda atau kenaikan.
10) Menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk memenuhi kewajiban dan menjalankan haknya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
11) Mengajukan surat keberatan dan mohon kepastian terbitnya surat keputusan atas surat keberatannya.
12) Mengajukan permohonan banding atas surat keputusan keberatan pada Pengadilan Pajak.
13) Mengajukan surat gugatan terhadap tindakan pejabat pajak seperti menerbitkan surat tagihan pajak, dan lain-lain pada pengadilan pajak untuk memohon keadilan atas kesewenangan dalam menjalankan peraturan perundang-undangan perpajakan.
14) Menunjuk kuasa hukum untuk mewakili dalam persidangan, baik di Lembaga Keberatan, Pengadilan Pajak maupun Mahkamah Agung.
Hak-hak wajib pajak tersebut tidak boleh dianggap sepele ataupun dikesampingkan oleh pejabat pajak. Pejabat pajak yang telah terbukti melakukan perbuatan melanggar hukum atas tidak mengindahkan hak-hak wajib pajak boleh dipersoalkan di hadapan hukum.
KEWAJIBAN WAJIB PAJAK
Wajib Pajak merupakan subjek hukum dalam konteks hukum pajak karena telah memenuhi syarat subjektif dan objektifnya untuk dikenakan pajak. Ketentuan Kewajiban Wajib Pajak yang harus dilaksanakan, antara lain :
1) Wajib Pajak mendaftarkan diri pada Kantor DIRJEN Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau domisili wajib pajak dan diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
2) Wajib Pajak melapor kepada Kantor DIRJEN Pajak yang wilayah kerjanya meliputi daerah tempat tinggal si wajib pajak terkait segala jenis kegiatan usahanya dan dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, dan diberikan keputusan pengukuhan pengusaha kena pajak.
3) Wajib mengambil sendiri surat pemberitahuan di tempat-tempat yang ditetapkan oleh pejabat pajak yang mudah dijangkau oelh wajib pajak. Hal ini dimaksudkan agar wajib pajak tidak memperoleh kesulitan untuk mendapatkan surat pemberitahuan dalam menunaikan kewajibannya.
4) Wajib mengisi dengan jelas, benar, dan lengakp serta ditandatangani sendiri surat pemberitahuan, kemudian mengembalikan ke kantor Dirjen Pajak dilengkapi dengan lampiran-lampiran. Contoh : Laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi beserta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besar penghasilan kena pajak.
5) Membuat faktur pajak merupakan kewajiban pengusaha kena pajak.
6) Diwajibkan untuk membayar pajak di tempat yang telah ditentukan oleh Undang-undang.
7) Pajak yang terutang wajib dibayar lunas oleh wajib pajak dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.
8) Berkewajiban untuk menyelenggarakan dan/atau memperlihatkan pembukuan atau pencatatan maupun data yang diperlukan oleh pemeriksa pajak.
9) Wajib memberi kesempatan kepada pemeriksa pajak untuk melakukan pemeriksaan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu. Penunjukan ini tidak memerlukan surat kuasa khusus karena secara tegas telah diatur dalam Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan.
10) Berkewajiban untuk menunjuk wakil bagi wajib pajak badan yang bertanggung jawab tentang pelaksanaan kewajiban perpajakan.
11) Wajib menunjuk kuasa hukum untuk mewakili wajib pajak di luar maupun di dalam lembaga peradilan pajak, lembaga keberatan, pengadilan pajak dan Mahkamah Agung. Penunjukan kuasa hukum wajib dilengkapi dengan surat kuasa khusus karena tanpa surat kuasa khusus tersebut, dianggap tidak sah secara hukum.
12) Kewajiban wajib pajak sebagaimana dimaksud di atas tidak bersifat final yang berarti setiap saat dan waktu dapat berubah. Ini dimaksudkan agar kewajiban pajak dapat mengalami perubahan yang signifikan dalam upaya penegakan hukum pajak.

SUBJEK PAJAK & OBJEK PAJAK

SUBJEK PAJAK

Didalam Hukum Pajak dikenal juga adanya Subjek pajak dan Objek pajak. Subjek pajak adalah setiap orang atau badan usaha yang bertempat tinggal di suatu negara. Subjek hukum pajak adalah wajib pajak. Wajib pajak itu sendiri ialah setiap orang atau badan usaha (subjek pajak) yang menurut Undang-Undang telah wajib membayar pajak kepada negara. Adapun yang dimaksud subjek pajak antara lain :

- Orang/perorangan

- Badan usaha tidak berbadan hukum

- Badan Hukum Publik

- Badan Hukum Privat

Subjek pajak terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.

Subjek Pajak Dalam Negeri

1) Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia.

2) Orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.

3) Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

4) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.

5) Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Subjek Pajak Luar Negeri

1) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia.

2) Orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.

3) Badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Bentuk Usaha Tetap (permanent establishment) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh subjek pajak luar negeri untuk menjalankan suatu usaha atau kegiatan di Indonesia.yang dapat berupa : 1) Tempat kedudukan manajemen; 2) Cabang perusahaan; 3) Kantor perwakilan; 4) Gedung kantor; 5) Pabrik; 6) Bengkel; 7) Pertambangan dan penggalian sumber daya alam; wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan; 8) Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; 9) Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; 10) Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan; 11) Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; 12) Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia. (http://www.pajak.go.id)

Adapun yang tidak termasuk sebagai Subjek Pajak sebagaimana tercantum pada Pasal 2 ayat (1) huruf b, UU No. 36 Tahun 2008, Unit usaha tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria berikut, yaitu :

a) Dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b) Dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD.

c) Penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran pemerintah pusat atau pemerintah daerah.

d) Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara. Apabila suatu badan/lembaga telah memenuhi syarat-syarat tersebut, maka ia tidak termasuk subjek pajak penghasilan.

OBJEK PAJAK

Objek pajak adalah segala sesuatu yang menurut Undang-Undang dijadikan sasaran atas pemungutan pajak. Rochmat Soemitro (1986;99) berpendapat bahwa yang dapat dijadikan objek pajak banyak sekali macamnya. Segala sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan sasaran atau objek pajak, baik keadaan, perbuatan maupun peristiwa . Berdasarkan pasal 4 UU PPh Tahun 2000, yang dikenakan pajak (objek pajak) adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima oleh wajib pajak (PKP). Berdasarkan pasal 4 UU PPN Tahun 2000, pajak pertambahan nilai dikenakan atas penyerahan barang kena pajak di dalam daerah yang dilakukan oleh pengusaha, impor barang kena pajak, penyerahan jasa kena pajak di dalam daerah yang dilakukan oleh pengusaha, pemanfaatan barang kena pajak, pemanfaatan jasa kena pajak, ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak.

Pajak Penghasilan merupakan salah satu jenis objek pajak. Seperti yang tercantum pada Pasal 4 ayat (1) UU PPh adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun di luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk :

1) Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima.

2) Hadiah dari undian atau pekerjaan/kegiatan dan penghargaan.

3) Laba usaha.

4) Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta.

5) Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.

6) Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.

7) Dividen.

8) Royalti.

9) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.

10) Penerimaan dan perolehan pembayaran berkala.

11) Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.

12) Keuntungan karena pembebasan utang.

13) Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.

14) Premi asuransi.

15) Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak.

16) Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.

Adapun objek pajak yang tidak dikenakan pajak penghasilan ialah :

1) Bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh BAZ (Badan Amil Zakat) dan para penerima zakat yang berhak.

2) Hibah yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan.

3) Warisan.

4) Harta termasuk setoran tunai.

5) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaannatau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura atau kenikmatan dari wajib pajak.

6) Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi.

7) Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, BUMD.

8) Iuran yang diterima dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menkeu, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.

9) Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun.

10) Bagian laba yang diterima anggota dari perseroan komanditer.

11) Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana.

12) Penghasilan yang diterima oleh perusahaan modal .

Dalam pajak bumi dan bangunan, yang menjadi objek pajak adalah bumi dan bangunan. Sedangkan dasar pengenaan pajaknya adalah nilai jual objek pajak (NJOP).